Wednesday, December 3, 2008

Empat Tahun Bangkit dari Tsunami

Empat Tahun Bangkit dari Tsunami (2)
KAMIS, 04 DESEMBER 2008
Sabut Kelapa yang Menopang Hidup Para Tetangga
Musibah tsunami membuat seorang pengusaha kecil di Kabupaten Aceh Besar kehilangan segala-galanya. Lewat perjuangan yang gigih, dia berhasil menjalankan kembali usahanya. Kuncinya, motivasi untuk menyiapkan masa depan yang baik bagi anak-anaknya.

BAHARI, Aceh Besar

NAMA Jamil Z.A. bagi warga Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sudah sangat familiar. Terbukti, begitu JPNN bertanya tentang lokasi rumah pengusaha kecil itu, warga yang sedang minum kopi di warung pinggir pantai Jalan Krueng Raya Km 12,5 pun langsung tanggap.

’’Masuk saja, lalu belok kanan. Rumahnya dekat kios,’’ ujar seorang warga seraya menunjuk jalan masuk kampung.

Di desa itu, Jamil dikenal warga sebagai pengusaha keset dan pel dari bahan sabut kelapa. Siang itu, pria berkacamata tersebut bersiap mengirimkan produk kesetnya ke toko langganan di Banda Aceh. ’’Untung Bapak datang, tiga menit lagi saya sudah pergi ke Banda (Banda Aceh),’’ kata Jamil seraya mempersilakan JPNN masuk ke kantornya.

Kemajuan usaha Jamil bisa dilihat dari rumahnya yang cukup bagus, ada gudang, kantor, bahkan mobil nangkring di garasi rumahnya. ’’Kami harus bekerja ekstrakeras untuk bisa seperti ini,’’ ungkapnya.

Jamil menekuni usahanya sejak 1980. Jumlah karyawannya kini 40 orang. Kebanyakan mereka adalah para tetangga sendiri yang juga korban tsunami. Pendapatan bersih per bulan mencapai Rp15 juta. Produknya dipasarkan ke seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). ’’Sebelum tsunami, keset buatan saya malah sampai Medan, bahkan Padang, Sumatera Barat,’’ ujarnya bangga.

Usaha pembuatan keset Jamil kini dilengkapi mesin perontok sabut kelapa. Dulu, sebelum ada mesin perontok, sabut kelapa harus direndam air asin dulu selama enam bulan, baru sabutnya bisa dipakai. ’’Sekarang cukup dua hari saja,’’ jelasnya.

Bapak sembilan putra itu pun mengaku, saat tsunami menerjang desanya pada 26 Desember 2004, semua harta jerih payahnya selama 24 tahun hilang dalam sekejap. Rumahnya yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari laut rata dengan tanah. Mobil, gudang, serta perlengkapan kerja hilang tak berbekas. ’’Ludes semua,’’ kenangnya.

Karena semua sudah hilang ditelan tsunami, Jamil dan keluarga pun tinggal di barak penampungan pengungsi. Namun, dia tidak mau terlena hidup di barak yang hanya mengandalkan bantuan serta sumbangan orang lain. Dia sadar, suatu saat akan tiba waktunya bagi para korban tsunami untuk bisa hidup mandiri.
’’Untuk menghidupi sembilan anak saya, tidak cukup hanya mengandalkan bantuan. Itulah yang memotivasi saya segera bangkit,’’ tegasnya.

Dalam keadaan terpuruk, jiwa kewirausahaan Jamil pun memberontak. Maka, dibantu istri dan anak-anaknya, dia pun mencoba kembali bangkit dengan merintis usahanya dari titik nol. ’’Saat itu saya tidak punya modal, sehingga rasanya berat untuk bangkit. Tapi, tekad saya sudah bulat. Harus bangkit,’’ katanya.

Selama setahun Jamil membanting tulang, mencoba membangkitkan industri kesetnya dengan cara produksi manual. Meski tertatih-tatih dan banyak kendala, usaha tersebut terus menuai hasil. Bahkan, Swisscontact, sebuah LSM asal Swiss yang peduli terhadap korban tsunami, bersedia memberi bantuan modal bagi usahanya.

LSM itulah yang membangun kembali gudangnya yang hancur, membelikan mesin perontok, dan memberikan uang untuk modal usaha. ’’Itu titik bangkit usaha saya setelah gelombang tsunami hingga bertahan seperti sekarang,’’ jelasnya.

Karena pesanan terus meningkat, Jamil pun merekrut kembali karyawannya yang dirumahkan pascatsunami. ’’Saat ini karyawan kami mencapai 40 orang. Sebenarnya masih banyak yang ingin kerja. Tapi, belum bisa ditampung,’’ ujarnya.

Dengan mesin, modal, dan tenaga kerja yang cukup, saat ini Jamil tak hanya fokus membuat keset dari sabut kelapa. Dia mencoba mengembangkan produk ke lap pel dari bahan yang sama.

Dengan peralatan yang lebih baik, keset itu tidak hanya ditulisi ’’Welcome’’, tapi juga bisa memenuhi pemesanan khusus. Misalnya, pencantuman nama kantor pemerintah, hotel, bahkan yang bersifat pribadi. ’’Pokoknya, semua permintaan konsumen kami layani,’’ katanya.

Pengolahan sabut kelapa menjadi pintalan-pintalan (semacam tambang kecil) yang siap dijadikan keset dikerjakan para tetangga di rumah masing-masing. Setelah jadi, pintalan-pintalan itu baru disetor ke tempat usaha Jamil. ’’Jadi, para tetangga bisa mengerjakan di rumahnya tanpa mengganggu kesibukannya sebagai ibu rumah tangga,’’ jelas Jamil.

Dia sering berkampanye kepada para korban tsunami agar tidak mudah menyerah. Setidaknya, mereka harus berbuat untuk masa depan anak-anak. Kalau ada usaha, pasti ada jalan. Dia bersyukur keluarganya tetap utuh dalam musibah dahsyat tersebut. ’’Masa depan anak-anak yang memotivasi saya bangkit seperti sekarang,’’ tuturnya.

Seperti Jamil, motivasi untuk membangun masa depan anak itu pula yang membuat Mardiyah, 35, warga Desa Suak Indrapuri, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, bersemangat untuk bangkit.

Akibat gelombang tsunami, rumahnya yang berjarak hanya selemparan batu dari Pelabuhan Meulaboh rata dengan tanah. ’’Sejak itu, saya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain selama lebih dari tiga tahun,’’ ungkapnya.

Berbagai upaya dilakukan Mardiyah dan suami untuk bisa bangkit dari berbagai kesulitan pascatsunami. Keduanya bekerja apa saja, asalkan bisa menghasilkan uang. Termasuk berjualan sayur. ’’Yang penting halal,’’ tegasnya.

Dia bersyukur sejak enam bulan lalu rumahnya yang rata dengan tanah dibangun kembali oleh Caritas, sebuah LSM dari Swiss. Rumah bertipe 45 dengan dua kamar itu tergolong bagus. Bangunannya tampak kukuh. ’’Kami sangat bersyukur mendapat bantuan rumah itu,’’ ujar ibu tiga anak tersebut.

Di depan rumah barunya, wanita asal Aceh Singkil itu kini membuka toko sembako untuk menambah penghasilan rumah tangga. ’’Lumayan bisa membantu suami. Semua ini untuk masa depan anak-anak,’’ katanya.

Menurut Mardiyah, ketiga anaknya itulah yang membuat dirinya bisa bertahan. Dia lalu menuturkan pengalaman dramatisnya menyelamatkan mereka saat gelombang tsunami menerjang desanya. Saat itu, si bungsu berusia delapan bulan dan si sulung empat tahun. ’’Bapaknya saat itu berada di laut mencari ikan,’’ jelasnya.

Pagi pada 26 Desember 2004 itu, warga desanya berteriak-teriak karena ada gelombang laut datang. Tanpa banyak bicara, Mardiyah pun menggelandang ketiga anaknya berlari menjauhi pantai. ’’Hanya si bungsu yang saya gendong,’’ ucapnya.

Saat tsunami datang, Mardiyah beruntung sudah berhasil membawa ketiga anaknya memanjat tiang listrik. ’’Beberapa anggota Brimob dan TNI ikut membantu menyelamatkan anak-anak,’’ katanya.
Lebih dari empat jam Mardiyah dan ketiga anaknya bertahan di tiang listrik, sebelum tim penolong datang membantu. Saat itu, banyak orang heran atas tindakan heroik Mardiyah menyelamatkan ketiga putranya. ’’Saya juga heran kok bisa begitu kuat. Pikiran saya saat itu hanya satu. Bagaimana menyelamatkan ketiga anak saya,’’ tegasnya.

Selain rumahnya hancur, anak-anak Mardiyah mengalami guncangan jiwa yang hebat. Saking traumanya, pascatsunami, si bungsu langsung berteriak-teriak saat melihat air ledeng mengalir. ’’Itu berlangsung selama tiga tahun,’’ tuturnya.

Dia bersyukur anak-anaknya mulai melupakan kejadian mencekam tersebut. Apalagi, keluarganya kembali menempati rumah lama yang dibangun lagi di dekat pantai. ’’Anak-anaknya mulai sering berenang di laut. Kini, traumanya mulai hilang,’’ katanya. ***

No comments: